Minggu, 26 Februari 2012

Pilkada Versus Pepera 1969




Oleh : Ir. Sarjito
Manakah yang paling penting dalam DEMOKRASI : Prosesnya atau Output-nya?
Menurut saya, dua-duanya sama-sama penting, karena output sangat ditentukan oleh proses. Tetapi untuk konteks Indonesia, jawabannya tergantung di zaman mana kita hidup. Lha, kok bisa…?
Sekedar kilas balik, coba kita menengok ke kehidupan demokrasi di zaman Bung Karno. Dengan sistem multi-partai, situasi politik zaman itu boleh dibilang tidak pernah stabil. Bahkan Bung Karno sendiri menjadi “korban” dari instabilitas politik yang terjadi saat itu.
Era demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, sitiasi politik di seluruh Negeri memang tampak adem-ayem. Tetapi itu ternyata hanya terjadi di permukaan saja. Di bawah permukaan ibarat api dalam sekam. Soeharto pun akhirnya “terlempar” dari sistem politik yang diciptakannya sendiri.
Saat ini, masa Reformasi sudah berjalan sepuluh tahun lebih dan kita kembali ke sistem multi-partai. Silahkan menjawab secara jujur : apakah situasi politik saat ini lebih baik dari era Orde Lama yang juga sama-sama menerapkan sistem multi-partai?
Mungkin jawabannya sangat tergantung dimana posisi kita saat ini : sebagai politisi? Sebagai pelaku ekonomi? Sebagai akademisi? Ataukah sebagai rakyat biasa? Jawabannya pasti sangat beragam.
Di era Reformasi ini pula kita menerapkan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Penekanannya bukan pada siapa yang terpilih (output) tetapi bagaimana pemilihan dilakukan (proses). Selama tiga atau empat kali pemilihan Presiden di era reformasi ini, belum ada satu kalipun yang meninggalkan catatan bersih, tanpa noda-dosa.
Lebih-lebih pemilihan Kepala Daerah (Pemilukadal atau Pilkada). Banyak sekali catatan hitam yang mewarnai proses Pilkada, mulai dari money politics hinggabentrok antar-pendukung hingga memakan banyak korban jiwa.
Kasus paling anyar baru saja terjadi di wilayah paling Timur Indonesia, Papua. Tepatnya di Kabupaten Tolikara pada 14 hingga 15 Februari 2012 kemarin. Bentrok antar dua kubu pendukung calon Bupati meluas hingga pembakaran kantor BPS (Badan Pusat Statistik) setempat dan Posko Demokrat. Satu korban tewas dan dan beberapa warga luka-luka dalam insiden itu.
http://bintangpapua.com/headline/19811-tolikara-bentrok-1-tewas-
Insiden tersebut memang belumlah sebanding dengan peristiwa Ilaga di Kabupaten Puncak pada 30 Juli tahun lalu. Mulanya hanyalah bentrok antar dua kubu pendukung calon Bupati Ilaga (kubu Simon Alom versus kubu Elvis Tabuni), namun kemudian berkembang menjadi bentrok antar-suku. Akibatnya, 17 orang tewas dan puluhan luka-luka. Bentrok ini berlanjut hingga Januari 2012, dan kembali memakan korban, tiga orang tewas dan sejumlah orang luka-luka terkena tembakan senjata api rakitan, panah dan sumpit.
Kalau di zaman demokrasi yang sudah semakin maju saja perang antar-kubu yang berbeda aspirasi masih saja sulit terbendung, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika proses PEPERA tahun 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat untuk memilih berintegrasi dengan NKRI atau menjadi negara sendiri) dilakukan dengan sistem one person one vote?
Saya kira apa yang dilakukan oleh PBB melalui UNTEA yang dipimpin Mr. Fernando Ortiz-Sanz untuk menyelenggarakan PEPERA waktu itu, sudah tepat. Mereka menggunakan sistem perwakilan dengan mempertimbangkan konteks budaya patriarkal yang berlaku di Tanah Papua.
Dan pelaksanaan tersebut telah tercatat dalam dokumen resmi PBB sebagai berikut :
In a report submitted to the Secretary-General, the Government of Indonesia stated that between 14 July and 2 August 1969, the enlarged representative councils (consultative assemblies) of West New Guinea (West Irian), which included 1,026 members, were asked to pronounce themselves, on behalf of the people of the territory, as to whether they wished to remain with Indonesia or sever their ties with it. All those councils chose the first alternative without dissent.
The representative of the Secretary-General reported that within “the limitations imposed by the geographical characteristics of the territory and the general political situation in the area, an act of free choice has taken place in West Irian in accordance with Indonesian practice, in which the representatives of the population have expressed their wish to remain with Indonesia”.

http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html
Kembali ke pertanyaan awal : manakah yang paling penting dalam DEMOKRASI : Prosesnya atau Output-nya? Sekali lagi, jawabannya sangat tergantung pada di posisi mana kita berada. Sebagai Politisikah? Sebagai aktivis demokrasikah? Atau sebagai rakyat biasa? [Kompasiana]

0 komentar:

Posting Komentar